Di zaman penjajahan Belanda waktu itu, Tahun 1600 an terjadi banyak kecamuk sosial melanda Negeri ini. Terlebih lagi di sepenanjung kawasan Arab ( Yaman ) . Asy Syarif Abul Qosim Al Mahdaly datang bersama anaknya bernama Asy Syarif Sholeh di Sulsel. Dan memilih tempat tinggal untuk berdakwa siar Islam di rumah Passamula ( Datu Panincong) Kabupaten Soppeng.
Umur Asy Syarif Sholeh waktu itu baru berkisar 8 atau 9 Tahun, diakhir Tahun 1700. Kemudian mulai siar Islam Tahun 1800 menggantikan Abahnya setelah menikah dengan Petta Tolah anak Datu’ Panincong, Tahun 1816. Tidak ada pendapat yang mengetahui Umur Asy Sholeh kemudian meninggal dunia. Yang ada yang di ketahui Asy Syarif meninggal dengan umur sangat Tua. Di Batu batu. Soppeng. Tidak lama kemudian, istrinya juga meninggal dunia. Ada yang menyebut petta tola wafat diakhir Tahun 1800.
Puang Syarifa Duha, umminya Sekh Mudir. Tantenya Sekh Baso. Tinggal di depan Masjid Takwa Lakessi Kota Parepare, menyampaikan sewaktu di jenguk di kediamannya, untuk mengurus sejumlah Sawahnya yang kini diambil orang di Kabupaten Sidrap. ” itu sawah Nenek Kami dari Besse Cimpu. Itu keturunan Bugis kami. Sedangkan kita nak dari Petta Tolah keturunan Bugis ta.” Ujarnya pada Andi Guntur.
Sekarang ini Puang Syarifa Duha masih hidup, dan semoga ALLAH memanjangkan umurnya. Aminn YAA ALLAH.
Menurut pengakuan beberapa Tokoh masyarakat daerah itu, ada yang menyebut lebih 10 Tahun Asy Sarif Abul Qosim tinggal di Kabupaten Soppeng, kemudian Pulang, setelah ada penjemputnya dari Yaman. Menurut Sayyid Agussalim Al Mahdaly. Asy Syarif Abul Qosim, penghuluYaman lama mencari baru kemudian di ketahui berada di rumah Datu Panincong Kabupaten Soppeng bersama dengan anaknya. Hal itu juga disampaikan Abah kami Sayyid Muhammad Noerdin Al Mahdaly.

Kemudian Puang Syarifa Mastura, yang tinggal secara turung temurung di Daerah Batu batu Soppeng berkisah sebelum Asy Syarif Abul Qosim Pamit pulang ke Yaman, dinikahkan Asy Syarif Sholeh dengan Putri Daru Panincong bernama Petta Tolah. Puang Syarifa Mastura menambahkan kisahnya.
Setelah Asy Syarif Abul Qasim beranjat pulang Ke Yaman. Nampak Datu Panincong sangat sedih. Seraya berkata ” bagaimana saya ini, kemudian Asy Syarif Abul Qasim menjawab. Anak saya Asy Syarif Sholeh tinggal bersama dengan kita”. Waktu itu, Satu sarung gandum ringgit emas di berikan hadiah dari Datu Panincong bersama dengan masyarakatnya, tapi di tolak mengambil ringgit emas itu oleh Asy Syarif Abul Qosim.
Kemudian dalam pada itu, Hasil pernikahan Asy Syarif Sholeh dengan Petta Tolah, lahirlah anak sematawayan yang bernama Sayyid Hasan Bahasyim Al Mahdaly. Dengan panggilan akrabnya Puang Majjanggo. Salahsatu penyebar Agama Islam yang terkenal di era Tahun 1800 an, terutama di di Daerah Kabupaten Soppeng. Bone. Sidrap, Pinrang, Enrekang & Barru serta Daerah Mandar.
Pemilik panggilan akrab Puang Majjanggo di kenal banyak karomah, seperti yang pernah di sampaikan Iyye Landong, berapapun pengikutnya ketika hujan tiba dalam perjalanannya tidak ada satupun yang basah, begitupun saat menerjang banjir, Buaya yang di panggil untuk menyebrankan dan saat kehausan, kelapa hanya di tunjuk kemudian jatuh untuk diminum airnya. Hingga saat meninggal wafat di daerah lajonga. Tidak jauh dari daerah Bilokka, poros jalan Kabupaten Sidrap – Kabupaten Soppeng. Janggotnya diambil masyarakat sebagai jimat.
Sebelum meninggal Puang Majjanggo membangun Masjid.di daerah tersebut
” kami sekampung waktu Puang Majjanggo tinggal di Lajonga. Dia Wali ALLAH.” Jelas Iye Landong dengan Kagum. Begitu juga di wariskan pada anak anaknya. Seperti diantaranya Sayyid Alwi & Sayyid Umar juga dikenal banyak memiliki karomah.
Anak Asy Syarif Hasan Buhasyim Al Mahdaly (Puang Majjanggo)
Yaitu;
1. Sayyid Alwi
2. Sayyid Umar
3. Sayyid Abu
4. Sayyid Husain
5. Syarifa Aminah
6. Syarifa Sana
7. Syarifa Hadia
Demikian yang di sampaikan Syarifa Hartati Al Mahdaly. Seraya mengatakan Al Mahdaly di Sulsel semuanya di kenal.
Oleh Andi Guntur Noerman