Tradisi dan Religiusitas Budaya Royong

 

GOWA – Di jaman era digital 4,0 kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) terus memacu dan berpacu diri, dalam meraih target masing-masing.

Umumnya kemoderenan saat ini, adalah imbas kecanggihan teknologi dari luar (bukan produk alami dalam negeri/produk lokal). Namun, tak ada salahnya jika dalam mengarungi kemajuan teknologi ini, di dalamnya tidak dilupakan pula keberadaan budaya dan kesenian yang umumnya sarat dengan nilai-nilai sosial masyarakat, dan nilai-nilai religius.

Jika ingin flash back atau kilas balik tentang budaya/kesenian negeri ini khususnya di Sulawesi Selatan, tentu tidaklah dapat dilupakan adanya Budaya Royong.

Dan terkait hal tersebut diatas, maka ntuk kesekian kalinya acara psikografi dan Dialog Publik diadakan, kali ini dengan tema “Eksistensi Kesenian Tradisional”.

Acara ini berlangsung di CDL Cafe, Jln Usman Salengke, Sungguminasa, Gowa,  Jum’at malam (19/04).

Untuk diketahui, hadir sekaligus sebagai narasumber/pembawa acara, yakni: Dr Sumarlin Rengko HR SS MM, Akademisi Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya UNHAS, Eka Yuniarsih SS, Penggiat Bahasa Daerah, Kaharuddin Dg Muji, Dewan Kesenian Daerah, Iwal Achmady, Direktur Mitologi Bumi Sulawesi.

Sumarlin mengatakan, Royong bisa dilihat dari berbagai persfektif, karena di semua negara sebenarnya juga terdapat Royong, tentunya disesuaikan dengan bahasa masing-masing negara.

“Royong ini adalah suatu seni atau nyanyian yang hampir semua syair di dalamnya adalah petuah-petuah yang sarat nilai-nilai religius,” urainya.

Dirinya juga menyinggung atau mempertanyakan maraknya geng motor atau anak-anak nakal, dan dihubungkannya dengan kemungkinan kurangnya Budaya Royong saat ini.

Menurut Eka Yuniarsih, membagi Royong membagi dua, Yakni puisi dan prosa. Royong ini, katanya, tidak terlalu populer dibandingkan budaya Kelong.

“Dahulu di masa-masa kerajaan, Royong ini tidak bisa dilakukan oleh masyarakat awam (rakyat biasa), tapi khusus dilakukan di kalangan istana. Beda dengan Budaya Kelong, yang umumnya dilakukan oleh rakyat jelata,” jelas Eka.

Di lain sisi, Dg Muji mengungkapkan bahwa saat ini kerajaan tak ada lagi, sehingga Royong adalah milik rakyat jelata.

“Sebenarnya semua sisi kehidupan manusia itu, didominasi oleh Royong,” pungkasnya.

“Semoga Royong bisa dimasukkan dalam UU Kebudayaan,” tutupnya penuh harap

(Syahrir)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *