KOSONGSATUNEWS.COM, PAREPARE, — Komisi II DPRD Kota Parepare menggelar rapat dengar pendapat (RDP) guna merespons keluhan sekelompok buruh di Pelabuhan Cappa Ujung terkait sistem pengupahan yang dinilai tidak adil.
RDP yang berlangsung pada Senin, (23/6/2025) tersebut menghadirkan berbagai pihak terkait, di antaranya perwakilan buruh, mandor, pengurus Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM), serta pihak Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Parepare.
Ketua Komisi II DPRD Parepare, S. Parman Agoes Mante, menjelaskan bahwa sejumlah buruh mempertanyakan skema pembayaran yang dinilai tidak transparan.
Menurutnya, meski nilai jasa bongkar muat pada suatu kegiatan bisa mencapai puluhan juta rupiah, buruh hanya menerima maksimal Rp800 ribu per orang per kegiatan, tanpa mempertimbangkan volume barang yang dibongkar.
“Sebagai contoh, dalam satu kegiatan dengan nilai nota jasa sebesar Rp24 juta, buruh hanya menerima total Rp11 juta yang dibagi kepada seluruh buruh. Ini yang dipermasalahkan,” ungkap Parman dalam forum RDP.
Menanggapi hal itu, Ketua Koperasi TKBM Parepare, Yasser, memberikan klarifikasi.
Ia mengatakan bahwa dari total nilai jasa bongkar muat, sekitar 15 persen digunakan untuk biaya operasional koperasi. Sisanya kemudian dibagi kepada buruh dan pihak terkait sesuai porsi kerja masing-masing.
“Misalnya dari nilai jasa Rp30 juta, setelah dikurangi operasional, sisanya dibagi. Buruh bisa menerima sekitar Rp1 juta, dan mandor bisa mendapatkan Rp1,5 juta,” jelas Yasser.
Ia juga menyebut, buruh yang tergabung dalam koperasi telah mendapatkan fasilitas jaminan sosial, seperti BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, dan tunjangan hari raya (THR).
Ketua LSM Fokus, Mutasim Farizi, yang turut hadir dalam RDP, menyebut bahwa sistem pembagian jasa bongkar muat di Pelabuhan Cappa Ujung secara umum telah mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 152 Tahun 2016. Ia menilai hak-hak normatif buruh telah berjalan sebagaimana mestinya.
“Pembagian pendapatan untuk buruh, mandor, dan pengawas sudah memiliki acuan yang jelas dalam regulasi. Tidak bisa sembarangan diubah,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu mandor bongkar muat di pelabuhan, Uceng, turut memberikan klarifikasi terkait laporan yang menyebut total upah hanya Rp11 juta.
Ia menegaskan bahwa jumlah tersebut sudah termasuk pembayaran kepada pengawas serta iuran wajib seperti BPJS dan koperasi.
“Jadi bukan hanya untuk buruh saja. Upah itu juga mencakup pengawas dan potongan iuran lainnya,” kata Uceng.
Ia juga membantah nota jasa yang dijadikan acuan dalam laporan ke DPRD. Menurutnya, nota tersebut berasal dari kegiatan bongkar muat kapal lain yang bukan dikerjakan oleh pelapor.
“Saya ragu soal keabsahan nota itu. Bahkan beberapa nama buruh yang mengadu, saya tidak kenal. Saya curiga ada pihak yang menghasut dan memprovokasi,” tuturnya. (*)