KOSONGSATUNEWS.COM, SIDRAP — Isu politik yang menyeret nama H. Rusdi Masse Mappasessu (RMS) kembali menghangat di Sulawesi Selatan. Anggota DPR RI dua periode dari Partai Nasdem itu santer dikabarkan akan meninggalkan partai besutan Surya Paloh dan berlabuh ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Meski belum ada deklarasi resmi, rumor politik semacam ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam teori komunikasi politik, isu kepindahan partai sering kali menjadi instrumen agenda setting untuk menguji reaksi publik, membaca resistensi internal, sekaligus membangun persepsi arah baru seorang politisi.
Guru Besar UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. Firdaus Muhammad, menilai RMS bukanlah figur sembarangan. Ia disebut berhasil mengubah peta politik Sulsel dengan menjadikan Nasdem sebagai pemenang pemilu, bahkan menyalip dominasi Golkar yang selama ini hegemonik di daerah tersebut.
“RMS itu policy entrepreneur. Ia mampu membangun koalisi dominan dengan menempatkan kadernya di legislatif maupun eksekutif. Jadi wajar kalau isu hengkangnya memunculkan spekulasi luas,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik Dr. Nurmal Idrus menyebut sinyal kepindahan RMS sudah mencapai “99 persen”, meski tetap menyisakan ruang ketidakpastian. Ada tiga faktor utama yang mendorongnya: kedekatan RMS dengan keluarga Jokowi, kebutuhan ruang ekspresi politik baru, serta dorongan mencari political adrenaline.
Namun hingga kini, semua masih bersifat prediktif. Tidak ada pernyataan final dari RMS selain isyarat-isyarat simbolik yang ditangkap publik sejak Pilkada 2024 lalu.
Dalam perspektif politik kelembagaan, isu kepindahan ini memperlihatkan tarik-menarik antara loyalitas partai dan ambisi personal. Nasdem di Sulsel kini sudah menjadi partai mapan dengan basis konstituen dan struktur yang kuat ironisnya, hasil kerja RMS sendiri.
Lebih jauh, rumor ini juga menyeret sejumlah tokoh lokal yang dekat dengan RMS. Mereka disebut-sebut ikut merapat ke PSI. Fenomena ini menguatkan pola politik dinasti yang semakin cair, sekaligus menegaskan bahwa partai politik di Indonesia masih dominan berfungsi sebagai kendaraan elektoral ketimbang rumah ideologi permanen.
Jika benar, PSI berpotensi menjadi laboratorium baru bagi sirkulasi elite dengan wajah lama politik lokal yang berpadu dengan citra muda yang dibawa Kaesang Pangarep.
Namun publik tetap harus hati-hati membaca isu ini. Dalam politik, perpindahan partai kerap menjadi kartu tawar (bargaining chip) dalam negosiasi internal. RMS sendiri hingga kini masih menerima penugasan strategis dari DPP Nasdem, termasuk menjadi ketua panitia Rakernas di Makassar.
Artinya, relasi RMS dengan Nasdem belum sepenuhnya retak. Isu hengkang ke PSI masih sebatas spekulasi: bisa berujung pada deklarasi resmi, bisa pula meredup sebagai strategi komunikasi politik.
Namun yang pasti, satu hal jelas: posisi RMS di panggung politik Sulsel tidak bisa diremehkan. Dalam perspektif teori elit Pareto, ia adalah circulating elite figur yang selalu punya kemampuan menggeser peta kekuasaan, baik tetap di Nasdem maupun jika benar-benar memilih jalan baru bersama PSI. (MDS)