Jacob Ereste : *Kepalsuan Yang Sesungguhnya Bermula Dari Pengkhiatanan Terhadap Getaran Hati*

Ada orang yang percaya bila agama sering membuat hati menjadi bingung. Karena itu hati sering meninggalkan akal untuk memagami agama. Artinya jelas, yang dapat dipahami bahwa hati berada di atas akal. Dan akal sekedar menjadi pelengkap dari instrumen hati untuk memutuskan sesuatu yang paling bijak. Dengan cara itu, perbuatan buruk bisa dihindari, sebab hati lebih dominan untuk menentukan putusan pilihan yang harus dilakukan, sehingga tidak menyakahi akidah dan akhlak mulia manusia yang sesungguhnya.

Syahdan, mereka yang mekakukan kejahatan dan kerusakan menjadi sangat patut dikutuk, tak hanya oleh langit, tetapi juga oleh bumi. Maka itu azab yang lebih pedih akan segera diterima oleh yang bersangkutan, sesuai dengan amal perbuatannya, baik atau perbuatan buruknya.

Akal hanya akan berpikir waras bila dapat selalu dibimbing oleh hati, termasuk untuk memahami dan mendalami ajaran agama yang menuntun perilaku yang baik sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan mulia, hingga manusia mendapat kesempatan untuk menjadi khalifatullah — wakil Tuhan — di bumi.

Oleh karena itu, melalui berbagai cara manusia terus mencari jalan untuk mendekat kepada Tuhan. Utamanya lewat pengembangan spiritual untuk mewarisi sebanyak mungkin sifat-sifat Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang serta maha pemurah. Maka itu — bisa disebut dalam semua ajaran dan tuntunan agama-agama yang ada akan selalu menganjurkan sifat dan sikap cinta dan kasih sesama umat manusia seperti yang dimaknai oleh pengertian rahmatan lil alamin dalam Islam, atau sikap pemurah yang diekspresikan dalam anjuran zakat fitrah maupun zakat mal dan menyantuni fakir miskin serta orang-orang yang terlantar hingga sifat dan sikap mulia untuk mereka yang memberi perhatian kepada anak yatim piatu.

Sikap dan sifat ikhlas itu hanya mungkin dilakukan oleh siapapun saja yang percaya terhadap takdir baik dan takdir buruk atas perbuatan yang telah dilakukan, tidak perduli atas perbuatan sendiri atau karena ganjaran yang dilakukan oleh orang tua sebagai azab. Karena itu, kesadaran terhadap ketakutan yang paling menakutkan adakah semacam karma turunan akibat perilaku kita yang harus ditanggung pula oleh anak, istri dan cucu yang akan lebih terasa mendera batin kita yang melakukannya.

Harta benda dan ragam kekayaan yang diperoleh– dan dimakan serta dinikmati oleh anak, istri dan cucu itu, pun memiliki konsekuensi yang lebih berat, seperti ketika seorang koruptor tertangkap dan dijerat oleh hukum hingga harus mendekat dipenjara — seberapa pun singkatnya — akan menjadi beban psikologis dan mempengaruhi serta sangat menggslanggu kehidupan seluruh anggota keluarga yang ada. Apalagi bila kelak hukuman mati dan peramoasan seluruh aset yang ada juga segera diberlakukan. Misalnya di Indonesia, dimana tingkat dari kegandrungan untuk melakukan korupsi telah menjadi bagian dari cara hidup agar dapat hidup mewah tanpa kerja keras. Celakanya, dominasi para pelaku korupsi di Indonesia itu bukan dilakukan oleh orang yang miskin, bukan pula oleh mereka yang bodo, bahkan tidak juga dilakukan oleh mereka yang berangkat atau memiliki jabatan yang rendah, karena mulai dari mereka yang bergelar doktor — bahkan profesor — hingga mereka yang berangkat atau memiliki jabatan tinggi yang dominan melakukan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Oleh karena itu, gerakan kebangkitan kesadaran dan pemaganan sourutual sebagai benteng penjaga etika, moral dan akhlak perlu dibangun untuk mengembalikan fitrah manusia yang telah dibekali oleh Tuhan sifat dan sikap ilahiah bawaan sejak lahir bagi semua manusia guna mematuhi tuntunan dan ajaran agama yang rahmaran lil alamin. Tidak membuat kerusakan dan kejahatan dalam bentuk apapun, terhadap alam serta lingkungan, manusia dan Tuhan.

Beragam bentuk dam ragam macam kejahatan itu — baik yang sengaja maupun tidak disengaja, apalagi yang direkayasa seperti memperpanjang hukum hingga memperjualbelikan keadilan, jelas tidak alang kepalang dosa dan azabnya. Sebab derita bagi mereka yang dijadikan korban, kutukannya pasti sampai terdengar oleh langit dan bumi, sebagai saksi kejahatan yang tidak terampunkan itu.

Oleh karena itu, slogan untuk berpikir dengan hati — tak hanya dengan otak dan melihat dengan hati serta mendengar lewat hati — artinya untuk memutuskan sesuatu lalu bertindak tidak cukup hanya berdasarkan keputusan yang dilakukan oleh otak yang waras sekalipun, karena keputusan yang hendak dilakukan itu harus dipertimbangkan oleh hati. Karena itu, agama pun yang mengendap di dalam hati harus jernih dan bersih, tidak menjadi semacam asesoris pemanis, akibat tuntutan dari tampilan yang selalu mengedepankan pencitraan yang semu. Kosong, tanpa isi.

Fenomena inilah yang membuat kegilaan banyak orang pada gelar palsu dan ijazah palsu. Sehingga hati dan pikiran serta perilakunya pun tiada yang otentik, karena palsu juga adanya. Persis sejumlah janjinya yang palsu. Jadi begitulah, kepalsuan yang sesungguhnya bermula dari pengkhianatan terhadap getaran bisikan hati. Akibatnya, bukan hanya tidak memiliki rasa malu, tetapi jauh melebihi tidak memiliki harga diri.

Banten, 28 Agustus 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *