Menuju Ma’rifat 8

Ketika iman telah dalam proses untuk berkekalan memimpin segala aktivitas diri menuju meraih sayangnya Allah, dan tidak lagi tunduk pada perintah otak yang umumnya terkontaminasi dengan jebakan tentara iblis maka senantiasa pula hijab pun terbuka, sebagai balasan baik dari Allah.

Pada keadaan atau tingkatan ini, Allah pun senantiasa membantu dengan jalan diri dan otak tak dapat melakukan apa yang direncanakannya. Yang selalu terjadi adalah spontanitas gerakan diri atas perintah mutlak dari iman, walau otak membantahnya tapi tetap tak bisa mewujudnyatakannya dengan menggerakkan jasmani.

Umumnya orang yang berada pada maqam ini akan mendapatkan respon atau tanggapan atau pun penilaian dari orang-orang di sekitarnya, sebagai orang yang kurang bisa didekati karena agak aneh. Hal tersebut pun, lambat laun akan berproses menuju terkucilkannya yang bersangkutan. Dan, yang bersangkutan pun merasakan ada dinding yang tak terlihat, tapi nyata dirasakan telah membatasi dirinya dengan orang-orang di sekitarnya, sehingga selalu tidak bisa berlama-lama dalam setiap interaksi sosialisasinya dengan masyarakat.

Dengan penyerahan diri secara total pada iman, maka iman pun menyambutnya dengan menggerakkan diri secara otomatis, walau otak masih tetap bekerja tapi umumnya perintahnya tak dapat lagi dilakukan oleh jasmani, dengan berbagai macam sebab.

Setelah diri mampu untuk dipimpin oleh iman, dan iman pun berproses menuju berkekalannya memimpin diri, maka berbagai macam alam malakut pun secara bergiliran atau berganti-ganti dibuka hijabnya oleh Allah untuk diperlihatkan pada diri yang bersangkutan. Kadang penyaksian-penyaksian ini dilengkapi dengan penjelasan dengan suara sangat jelas dari dalam hati disertai perasaan enak dan lapang, tapi kadang pula penyaksian-penyaksian ini tanpa penjelasan.

Dalam berprosesnya keadaan ini, maka ujian-ujian Allah terus pula berdatangan secara tiba-tiba dan kontinyu. Ujian-ujian Allah ini juga bermacam-macam, diantaranya: diri akan dibenci oleh orang tua (ayah atau ibu), saudara kandung, saudara sepupu, sahabat, atau pun yang lain-lainnya yang mempunyai hubungan dekat dengan diri. Atau tetangga boleh jadi ikut pula digerakkan dengan tanpa sebab memancing diri untuk bertengkar, atau tanpa perencanaan diri ini berdekatan dengan orang-orang yang sementara berdiskusi atau berdebat masalah agama yang bermuara pula memancing diri untuk ikut pula bergabung untuk berdebat membela salah satu pihak, juga dapat berujung pada pertengkaran. Dan lain-lainnya.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Q.S. AL-Baqarah ayat 153).

Kesabaran sangat diuji dalam tingkatan ini. Yang ingin diuji pula, adalah apakah diri ini sanggup diam ketika ingin bicara, dan dapat pula berbicara ketika ingin diam. Diri senantiasa dituntut agar tunduk patuh untuk disibukkan oleh shalat, dan setelah shalat maka diri pun dituntut tunduk patuh untuk disibukkan oleh sabar.

Saat semua ini bisa dijalankan maka Allah mengirimkan seorang waliNya untuk dipertemukan dengan diri, guna mengantar mendapatkan sayangnya Allah yang sebenar-benarnya. Dan proses terbukanya rahasia-rahasia Allah yang ada dalam tiap diri manusia pun terus berlangsung satu demi satu, baik lewat mimpi maupun secara nyata. Termasuk Allah memperlihatkan “penguasa diri” yang ada pada diri tiap manusia, ini bisa juga lewat mimpi dan juga bisa secara nyata.

Setelah yang bersangkutan sanggup melalui terus-menerusnya berlangsung keadaan diatas, dengan disertai pula dengan terus-menerusnya ujian Allah menerpa diri maka dengan kekuasaan, ridho dan maha pengasih serta maha penyayangnya Allah, maka Allah memerintahkan pada waliNya melalui malaikatNya yang meneruskannya kepada panglima tentara Allah di dunia, yakni Nabi Khidir As yang juga melanjutkannya kepada wali Allah yang telah bertugas membimbing diri, untuk mengantar yang bersangkutan ke tempat pelantikan untuk juga secara resmi dilantik menjadi Waliulllah (Wali Allah).

Dalam tempat pelantikan ini, kadang hadir Nabi Khidir As secara langsung memimpin pelantikan, kadang pula tak hadir, ini tergantung kualitas seseorang yang akan dilantik. Umumnya Nabi Khidir As hadir langsung dalam pelantikan, bila yang bersangkutan datang ke tempat pelantikan tanpa diantar oleh seorang Waliullah, tapi dia diantar langsung oleh rupa dirinya yang mengantar dirinya (dirinya diantar langsung oleh dirinya).

Allah SWT berfirman dalam Hadits Qudsi, yang artinya:

“Ketika Aku telah mencintainya, maka Aku yang akan menjadi telinganya yang digunakannya untuk mendengar, Aku akan menjadi matanya yang digunakannya untuk melihat, Aku akan menjadi tangannya yang digunakannya untuk memukul, Aku akan menjadi kakinya yang digunakannya untuk berjalan.
Jika dia meminta kepadaKu, sungguh Aku akan mengabulkannya dan jika meminta perlindunganKu maka sungguh Aku akan melindunginya.” (HR Al Bukhari, j.5, h. 2384)

Setelah diri resmi dilantik dan mendapatkan sayangnya Allah, maka secara otomatis pun jasmani yang bersangkutan berada di dalam, sedangkan rohaninya berada diluar (mirip kejadian Nabi Besar Muhammad SAW pada waktu Isra’ Mi’raj, ketika berada di langit ketujuh dimana Bouroq dan para Malaikat meninggalkannya, dengan alasan tidak pernah dan tidak berani melewati langit ketujuh. Selanjutnya secara otomatis pula rohani Nabi Muhammad SAW berada diluar, lalu mengantarnya sampai ke Arasy guna menghadap, bertemu serta berdialog langsung dengan Allah SWT ).

Karena, rohani berada diluar maka keberadaan di dunia ini dari yang bersangkutan, tidak lagi terlihat oleh manusia. Pergerakannya atau segala aktivitasnya dalam menjalankan perintah Allah pun tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Di luar perintah Allah pun, yang bersangkutan juga hampir sama sekali tidak bisa lagi berbuat dengan perintah otak tapi totalitas perbuatannya mutlak secara otomatis dikendalikan oleh iman.

Umumnya, “para pejuang di jalan Allah (tentara Allah)” yang telah dilantik ini akan mendapatkan tugas dan ditempatkan pada daerah yang jauh dari tempat asalnya, sehingga bisa dipastikan tak ada satu pun penduduk di tempatnya bertugas yang mengenalinya, jika sekali waktu dia menampakkan diri (jasmani kembali berada diluar dan rohani kembali berada di dalam).

Pada derajat ini, keinginan duniawi dari yang bersangkutan telah mati pula (orang makassar dahulu kala, berkata “Boya Naku Boya Tongko, Punna Nurasa Kubunoko”), termasuk di dalamnya melakukan pernikahan lalu beranak pinak. Rohaninya selalu berada diluar, sehingga tidak mungkinlah sang rohani ini melakukan pernikahan, perkawinan lalu beranak pinak. Tidak pernah kejadian, terdengar, terlihat atau tertulis dalam kitab suci yang diturunkan oleh Allah, dimana rohani melakukan pernikahan lalu kemudian berkembang biak turun temurun.

Sehingga, apabila ada seseorang atau beberapa orang yang digolongkan oleh orang banyak sebagai Waliullah yang sebenar-benarnya, tapi masih melakukan pernikahan lalu beranak pinak serta masih selalu disaksikan hampir setiap hari secara nyata keberadaannya oleh orang-orang di sekitarnya pada masanya, maka tentu itu bukanlah Waliullah, tapi berkemungkinan besar itu adalah seorang sufi (orang makassar dahulu kala menyebutnya “Pangrita”), satu derajat dibawah dari tingkatan Waliyullah.

Ada pun seorang Waliullah dapat dilihat secara nyata oleh seorang manusia biasa, jika ada perintah Allah untuk memperlihatkan diri pada orang tersebut. Sedangķan seorang Sufi, hampir setiap hari dapat dilihat oleh manusia biasa yang ada di sekitarnya dan itu tanpa perintah.

Tapi, derajat untuk mencapai tingkatan Sufi (Pangrita), itu pun tidaklah gampang tapi sangatlah “super sulit”. Kenapa ? Karena hampir semua ilmu kesaktian (orang Makassar menyebutnya “Pangngissengang”) yang dimilikinya itu merupakan pemberian langsung dari Malaikat, baik melalui diatas tikar sajadahnya (ketika bertafakkur kepada Allah, selesai shalat) atau pun lewat mimpi.

Sekadar tambahan dan juga penutup, bahwa baik Sufi maupun Waliullah masih juga tetap ada celah untuk dimasuki bayang-bayang tentara iblis atau bahkan iblis sendiri yang langsung datang menggodanya.

Seorang Waliullah yang sempat tergelincir karena bujuk rayu iblis, maka Allah akan memecatnya sebagai Waliyullah (secara otomatis pula jasmani kembali berada di luar dan rohani kembali ke dalam).

Seorang Waliullah, pada saat meninggalnya maka rohaninya mengantar langsung jasmaninya kehadirat Allah SWT (sehingga tidak ada kuburnya di dunia). Sedangkan, yang telah dipecat maka meninggalnya tetap seperti manusia biasa pada umumnya, walau kuburnya itu biasanya masih tetap dilingkupi aura keramat yang positif, karena sayangnya Allah masih tetap ada pada dirinya. (Wallahu A’lam Bis-Shawabi).

SYAHRIR AR
GOWA, AGUSTUS 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *